Pada Dasawarsa yang lalu kegiatan
ekonomi di negara-negara maju bersifat terlampau eksplosif dan ini banyak
ditiru oleh negara-negara yang sedang berkembang. Kegiatan Ekonomi yang bersifat eksplosif ini tentunya tidak
lepas dari cara pandang manusia terhadap sumber daya alam yang secara defacto
dikuasainya dan seolah-olah tidak akan
habis.
Secara ekologis cara pandang seperti ini
keliru dan mengakibatkan kerusakan sumber daya dan lingkungan. Sebagai contoh,
diambil kasus pemanfaatan hutan tropis dengan sistim tebang habis yang begitu
cepat pada saat ini. Hutan tropis yang secara genetis merupakan tata lingkungan
terkaya di bumi, kaya akan plasma nutfah. Saat ini sedang ditebang dan dibakar
dengan kecepatan 11 juta hektar per-tahun atau kira-kira 20 juta hektar setiap
menitnya. Dengan kecepatan ini berarti seluruh hutan hujan tropis akan lenyap
dalam jangka waktu sekitar 85 tahun.
Kegiatan ekonomi yang bersifat
eksploitatif sebenarnya juga tidak efektif untuk negara-negara berkembang.
Karena pada umumnya negara-negara berkembang menghadapi masalah pertumbuhan
penduduk yang besar. Meskipun pertumbuhan merupakan investasi produktif bagi
suatu negara, namun pada sisi lain pertumbuhan penduduk yang besar merupakan
penghambat bagi pembangunan ekonomi. Sebab penduduk yang banyak akan banyak
juga menyerap sumber daya alam. Kecenderungan yang dapat dilihat saat ini,
adalah makin besarnya kesenjangan sosial, baik antara golongan dalam satu
negara, maupun antara negara maju dengan negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi
negara maju membuat hidup berlebihan, sedang negara berkembang makin
terbelakang dan makin terhimpit oleh kemiskinannya. Ada ketidak seimbangan
penduduk bumi ini dalam memanfaatkan kekayaan alam. Sekitar 20 % penduduk dunia
hidup dengan 75 % kekayaan alam, dan sisanya 25 % kekayaan alam dinikmati oleh
80 % penduduk dunia. 80 % penduduk dunia ini adalah mereka yang hidup di
negara-negara berkembang.
Pada sistem pasar internasional selalu
terjadi kepincangan, sebagian besar negara-negara miskin sangat menggantungkan
penerimaan devisanya pada ekspor komoditi pertanian yang ternyata nilai tukar
komoditi ini mudah berfluktuasi atau menerun. Misalnya, antara tahun 1980 dan
1984 negara-negara berkembang kehilangan sekitar 55 milyar US dolar dari
penerimaan ekspor mereka karena jatuhnya harga komuditi. Akibatnya lebih dari
separuh negara-negara berkembang mengalami penurunan produk domestik bruto
(GPD) per Kapita selama periode 1982-1985. Penurunan produk domestik bruto ini
secara langsung tentunya akan memperbesar tekanan terhadap lingkungan dan
sumber daya alam.
disusun oleh : E.Karmana
Generasi Penerus Pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia
( GPP - NKRI )
Pebruari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar