A.Latar Belakang Masalah Amandemen
keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang
ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 mengamanatkan bahwa macam dan harga mata
uang ditetapkan dengan Undang-Undang. Sampai saat ini Undang-Undang yang
mengatur macam dan harga mata uang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2004. Apabila dilihat dari sejarah pengaturan mata uang di Indonesia setelah
masa kemerdekaan, sejauh ini pernah terdapat 4 (empat) Undang-Undang yang khusus
mengatur mengenai mata uang yaitu:
a. Undang-Undang Darurat Nomor 20
Tahun 1951 tentang Penghentian Berlakunya ”Indische Mutwet 1912” dan Penetapan
Peraturan BaruTentang Mata Uang;
b. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1953
tentang Penetapan ”Undang-Undang Darurat Tentang Penghetian Berlakunya ”Indische
Mutwet 1912” dan Penetapan Baru Tentang Mata Uang” (Undang-Undang Darurat Nomor
20 Tahun 1951) Sebagai Undang-Undang;
c. Undang-Undang Darurat Nomor 4
Tahun 1985 tentang Pengubahan ”Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953”;
d. Undang-Undang Nomor 71 Tahun 1985
tentang Pengubahan ”Undang-Undang Mata Uang Tahun 1953” Sebagai Undang-Undang. Pemberlakuan
keempat Undang-Undang tersebut bukan sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945, tetapi
merupakan pelaksanaan amanat Pasal 109 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun
1950. Dalam perjalanan waktu ketika UUD 1945 diberlakukan kembali dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, Undang-Undang yang mengatur mengenai macam dan harga mata
uang tersebut kemudian secara tegas dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 54
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1968 tentang Bank Sentral tersebut merupakan pelaksanaan amanat Pasal 23
UUD 1945. Sejak saat itu, pengaturan mengenai mata uang diatur dalam
Undang-Undang Bank Sentral dan tidak lagi diatur dengan Undang-Undang
tersendiri. Pasal 23 ayat (3) UUD 1945 sebelum diamandemen berbunyi :
“ Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang ”.
Penjelasan ketentuan itu menyatakan
bahwa perlunya macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang karena kedudukan
uang itu besar pengaruhnya bagi masyarakat. Menurut penjelasan ketentuan UUD 1945
tersebut, uang adalah alat penukar dan pengukur harga.Sebagai alat penukar
untuk memudahkan pertukaran jual beli dalam masyarakat. Berhubung dengan itu
perlu ada macam dan rupa uang yang diperlukan oleh rakyat sebagai pengukur
harga untuk dasar menetapkan harga masing-masing barang yang dipertukarkan. Barang
yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya, jangan naik turun
karena keadaan uang yang tidak teratur.Oleh karena itu, keadaan uang itu harus
ditetapkan dengan Undang-Undang. UUD 1945 hasil amandemen tidak mengenal
Penjelasan. Akan tetapi Pasal 23B UUD
1945 yang telah diamandemen bunyinya tetap seperti Pasal 23 (3) sebelum
amandemen, yaitu :
“Macam dan harga mata uang
ditetapkan dengan Undang-Undang”
Mengingat Pasal 23B UUD 1945 mengamanatkan bahwa macam dan harga mata uang diatur dengan suatu Undang-Undang, maka walaupun tugas mengeluarkan dan mengedarkan uang tidak dapat dilepaskan dari bank sentral, maka dipandang perlu untuk mengatur hal-hal mengenai mata uang dalam Undang-Undang tersendiri sebagai Undang-Undang organik dari Pasal 23B UUD 1945. Sementara itu, guna membangun kredibilitas uang rupiah, maka di dalam Undang-Undang yang mengatur tentang macam dan harga mata uang tersebut perlu diatur secara tegas bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah merupakan tugas bank sentral sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan di bidang moneter. Hal ini sesuai dengan praktik yang berlaku secara internasional dan konsisten dengan ketentuan serta praktik yang berlaku selama ini di Indonesia. Namun, jika melihat sejarah pengaturan mata uang di Indonesia, mulai dari tahun 1953 sampai dengan saat ini, pengaturan mata uang menjadi satu dengan pengaturan di bidang moneter yaitu diatur dalam satu Undang-Undang tentang bank sentral. Kewenangan bank sentral untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang memiliki kaitan yang erat dengan kewenangan pencetakan uang. Apabila pencetakan uang tetap berada diluar kewenangan bank sentral, maka kualitas kerjasama antara bank sentral dengan perusahaan pencetak uang akan mempengaruhi secara langsung efektifitas kebijakan pengedaran uang. Perusahaan pencetak uang dituntut untuk senantiasa mampu mengikuti perkembangan teknologi di bidang pencetakan uang dan penyediaan kapasitas produksi yang memadai. Selain merupakan kewenangan dan tanggung jawab lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan uang, pengaturan mata uang perlu pula memberikan dasar hukum yang kuat bagi lembaga tersebut dalam mengatur penggunaan uang sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender). Uang rupiah sebagai legal tender di wilayah RI harus digunakan untuk setiap transaksi pembayaran yang mensyaratkan pembayaran menggunakan uang. Kewajiban penggunaan mata uang ini seringkali memerlukan pengecualian- pengecualian, terutama jika secara praktis tidak dimungkinkan atau secara kelaziman memang sangat memerlukan penggunaan mata uang lain. Pelanggaran terhadap larangan menolak mata uang maupun terhadap kewajiban penggunaan mata uang, bisa merupakan perbuatan pidana atau juga bisa pula bukan kejahatan. Ini sangat tergantung bagaimana Undang-Undang mengaturnya. Kejahatan terhadap mata uang (crimes against currency) cakupannya dapat sangat luas. Dari penolakan menerima mata uang,perusakan, pemalsuan, bahkan sampai perbuatan penyimpanan bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membuat uang. Dari segi penempatan pengaturannya, apakah pengaturan kejahatan terhadap mata uang akan disatukan ke dalam Undang-Undang Mata Uang ataukah disatukan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? Untuk memberikan jawaban masalah ini, perlu diuraikan dasar pemikiran dan landasan teorinya,karena kejahatan terhadap mata uang sebenarnya dapat dipandang sebagai kejahatan yang spesifik dan sangat membahayakan, dapat pula dipandang sebagai kejahatan umum, seperti halnya kejahatan terhadap alat pembayaran lainnya. Oleh karena itulah perlu dilakukan penelitian hukum untuk mendapatkan jawaban atas masalah-masalah sebagai berikut:
a.
Apakah pengaturan mata uang perlu
dituangkan dalam Undang-Undang tersendiri, terpisah dari Undang-Undang Bank
Indonesia;
b.
Bagaimana uang kertas dan uang logam
yang dikeluarkan Bank Indonesia apa perlu dilakukan pencadangan (back
up currency);
c.
Bagaimana pengaturan kedudukan uang
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender). Apakah penolakan terhadap
penggunaan rupiah perlu diberikan sanksi pidana;
d.
Cakupan materi apa saja yang perlu
dituangkan dalam pengaturan mata uang diIndonesia;
e.
Apakah sanksi pidana atas kejahatan
terhadap uang perlu diatur dalam Undang-Undang Mata Uang, serta materi pidana apa
saja yang perlu dicantumkan ke dalam Undang-Undang.
B. Landasan
Pemikiran Pengaturan Undang-Undang Mata Uang Pada saat ini ketentuan-ketentuan mengenai “macam” mata uang terdapat di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 3 tahun 2004, yaitu
Pasal 2 dan 3. Adanya Undang-Undang
No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu
Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar menunjukkan bahwa ketentuan konstitusi itu memang perlu dilaksanakan dengan Undang-Undang.
Dengan demikian, ketentuan tentang “macam” Mata uang juga perlu dilaksanakan dengan
Undang-Undang organic tersendiri, tidak cukup apabila hanya dicantumkan sebagai
ketentuan dalam Undang-Undang lainnya. Lebih-lebih apabila dikaitkan dengan Undang-Undang
No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia,
tidak boleh tidak, ketentuan konstitusi itu harus dituangkan ke dalam
Undang-Undang bukan produk peraturan perundang-undangan lainnya. Hal itu
disebabkan dilihat dari sudut ketatanegaraan, Undang-Undang merupakan produk
parlemen. Parlemen merupakan wakil-wakil rakyat. Oleh karena itulah produk tersebut
dianggap sebagai produk rakyat. Salah satu fungsi hukum adalah melindungi
kepentingan yang berkaitan dengan keamanan secara umum. Kepentingan ini
meliputi perlindungan hukum terhadap ketertiban, kesehatan, serta keselamatan
dan keamanan bertransaksi. Apabila ditelaah, kepentingan akan keamanan secara umum
dapat dikatakan dasar ontologis bagi pengaturan mata uang di dalam
Undang-Undang tersendiri. Hal ini disebabkan oleh fungsi uang
yang esensial dalam hidup bermasyarakat. Tidak dapat disangkal bahwa uang telah
memfasilitasi dan memotivasi semua aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan
konsumsi, produksi, tukar-menukar, dan distribusi. Uang memungkinkan konsumen
memaksimalkan kepuasannya. Uang menjadi tolok ukur intensitas keinginan dan kegunaan
komoditas bagi konsumen. Uang memfasilitasi produksi dengan cara mendorong tabungan
dan investasi. Uang memobilisasi modal dan membantu pembentukan modal. Uang memungkinkan
entrepreneur memaksimalkan keuntungan dengan cara melakukan kiat-kiat tertentu
atas faktor-faktor produksi. Dengan mengintroduksi uang, terciptalah
tukar-menukar dan memungkinkan terjadinya perdagangan baik secara nasional maupun
internasional. Uang berfungsi sebagai denominator bersama bagi distribusi
produk-produk sosial. Upah,rent, bunga, dan keuntungan semuanya mengenai uang.
Uang membantu bekerjanya mekanisme harga dan bertindak sebagai suatu instrument
untuk alokasi sumber-sumber daya bagi entrepreneur yang saling bersaing. Uang
telah terbukti melancarkan berfungsinya system perekonomian. Uang telah mengakselarasi
proses industrialisasi. Oleh karena adanya uang, telah terjadi aliran
pembayaran dan adanya aliran pembayaran inilah yang memungkinkan peningkatan kesejahteraan
ekonomi. Apapun sistem perekonomian suatu negara, uang terbukti sangat dibutuhkan.
Di dalam ekonomi pasar uang berperan sangat penting karena ekonomi pasar pada dasarnya
bergantung kepada mekanisme harga yang bekerja melalui medium uang. Fungsi uang
yang terutama adalah sebagai alat tukar-menukar, sebagai suatu satuan hitung,
sebagai penimbun kekayaan yang dalam terminology modern sebagai resources
liquid, dan sebagai standar bagi penundaan pembayaran. Disamping keempat fungsi
tersebut, uang juga mempunyai fungsi dinamis. Dalam fungsinya yang bersifat
dinamis, uang mempengaruhi bekerjanya perekonomian dengan cara mempengaruhi
tingkat harga, tingkat konsumsi, volume produksi, dan distribusi kekayaan.
Fungsi dinamis uang, dengan demikian, dapat dikatakan menentukan kecenderungan
ekonomis. Sudah merupakan suatu yang umum diketahui bahwa terdapat hubungan yang
erat antara persediaan uang yang ada dalam masyarakat dan tingkat harga di
suatu negara. Fungsi dinamis ini telah menjadi sangat penting pada zaman modern
ini karena akan menjadi acuan bagi pemerintahan negara dalam menetapkan
kebijakan moneter. Berdasarkan penelusuran, masalah mata uang
memang lazim diatur dengan Undang-Undang tersendiri. Hal ini terlihat di
Australia, Amerika Serikat, Canada, Thailand, dan Singapura. Mengingat dilihat
dari bahannya nilai nominal yang tertera pada mata uang itu lebih tinggi
daripada nilai intrinsik bahannya, kepercayaan masyarakat akan mata uang merupakan
hal yang sangat penting. Oleh karena itulah untuk menjaga kepercayaan itu
diperlukan pengaturan tersendiri tentang mata uang.
C. Perlunya Back up Currency Di
beberapa negara Undang-Undang mengenai Mata Uang telah diundangkan menjadi
Undang-Undang tersendiri yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan sejalan
dengan perkembangan ekonomi, khususnya sector keuangan dan teknologi. Dalam Undang-Undang
Mata Uang itu diantaranya diatur penerbitan uang, pencetakan, distribusi,
kebijakan persediaan, penggantian uang rusak, penanganan uang palsu, back up
currency, design/tema, dan denominasi. Di beberapa negara terdapat perbedaan
kebijakan mengenai back up currency. Hanya di Singapura sajalah yang melakukan back
up (pencadangan/jaminan) terhadap mata uang sebesar 100%. Hal ini menunjukkan
bahwa setiap mata uang yang diedarkan, Bank Sentral Singapura (MAS) akan
menjamin sepenuhnya dengan aset yang ada. Aset penjaminan bisa dalam bentuk cadangan
emas ataupun cadangan devisa yang dimiliki oleh MAS. Sehingga uang dalam arti fiat/fiduciary
money (uang kepercayaan) tidak berlaku di Singapura. Artinya Jika terjadi suatu
saat seluruh masyarakat ingin menukarkan mata uangnya dengan aset yang lebih aksesibel
terhadap keuangan internasional (yaitu emas ataupun hard currency lainnya), pemerintah
Singapura mampu untuk memenuhinya. Kebijakan ini bias berlangsung karena
Pemerintah Singapura memiliki cadangan devisa yang sangat cukup, sebagai hasil dari
kegiatan ekspor yang melebihi impor maupun meningkatnya surplus neraca modal
yang memasuki pasar keuangan di Singapura. Sementara Pemerintah Malaysia hanya
mampu menjamin uang yang beredar dengan aset yang dimiliki sebesar 80,59% dan
Thailand sebesar 60%. Negara lain seperti Filipina dan Korea tidak mewajibkan untuk
melakukan back up currency. Negara-negara yang tidak melakukan penjaminan
terhadap mata uang yang beredar biasanya harus melakukan prinsip kehati- hatian
dalam menjaga cadangan aset yang dimilikinya, sehingga kepercayaan masyarakat
terhadap mata uangnya tidak rontok seiring merosotnya
perekonomian. Di Indonesia, tiadanya kebijakan back up currency ataupun jaminan
terhadap mata uang yang beredar, walau sekecil apapun, dari pemerintah telah
mengakibatkan kepercayaan masyarakat turun seiring dengan isu-isu (sentiment pasar)
yang mungkin bukan alasan fundamental ekonomi. Hal itu telah dibuktikan dengan
adanya peristiwa yang terjadi pada bulan Mei tahun 1998 yaitu tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap kondisi perekonomian berhasil merontokkan kepercayaan
masyarakat terhadap rupiah sehingga kurs pada waktu itu pernah mencapat Rp.
16.000/$. Oleh karena itulah di dalam penelitian ini didapatkan kebutuhan akan
adanya ketentuan mengenai back up currency. Untuk pencapaian sasaran
mengenai kelancaran dan ketersediaan uang yang efisien perlu dilakukan langkah-langkah:
(1) Menetapkan jumlah uang yang diperlukan dalam perekonomian. Dalam
hal ini jumlah uang yang diedarkan harus disesuaikan dengan kebutuhan perekonomian.
Apabila jumlah uang yang diedarkan lebih kecil dari kebutuhan, maka akan menghambat
kelancaran transaksi yang berdampak pada terganggunya kegiatan produksi dan
investasi. Sebaliknya, apabila uang yang diedarkan melebihi kebutuhan maka akan
mengakibatkan naiknya harga-harga.
(2) Pemetaan wilayah pengedaran uang. Dalam rangka pengelolaan pengedaran
uang, letak dan karakteristik suatu daerah perlu dipertimbangkan. Daerah yang sulit
dijangkau oleh alat angkutan biasanya membutuhkan stok uang yang lebih besar.
Disamping itu, ada juga daerah yang memiliki karakteristik khusus, misalnya lebih
senang menggunakan uang seri atau pecahan tertentu.
(3) Perhitungan jumlah uang lusuh/ rusak. Perhitungan jumlah
uang rusak/lusuh merupakan factor penting yang harus diperhitungkan dalam
membuat rencana pencetakan uang.
(4) Penyediaan stok uang yang optimal. Perhitungan stok uang yang
perlu dipelihara tidak hanya didasarkan pada kebutuhan pada kondisi normal,
tetapi juga perlu dipertimbangkan kondisi darurat dan perlunya stok uang
yang setiap saat harus tersedia. Dalam penelitian ini disarankan bahwa
seyogianya Undang-Undang Mata Uang itu menetapkan ketentuan yang mewajibkan
adanya back up currency. Akan tetapi mengenai prosentase yang perlu dicadangkan
tidak perlu dicantumkan dalam Undang-Undang itu. Hal itu dimaksudkan untuk
menghindari kekakuan. Undang-Undang Mata Uang seyogianya
menetapkan bahwa prosentase yang perlu dicadangkan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
Jika hal ini memang diperintahkan oleh Undang-Undang, maka sesuai dengan
ketentuan dalam UU No. 10 tahun 2004, Peraturan Bank Indonesia ini setingkat
Peraturan Pemerintah karena diperintahkan oleh Undang-Undang.
D. Kedudukan Uang Sebagai Alat
Pembayaran Yang Sah (Legal Tender) Kedudukan sebagai legal tender ini dinyatakan
di dalam uang kertas yang dikeluarkan oleh Bank Sentral setiap negara. Di dalam
legal tender terdapat dua elemen yang esensial yaitu pertama, keberadaannya dinyatakan
oleh hukum dan kedua untuk pembayaran. Ditinjau dari teori Hukum Tata Negara,
suatu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada suatu badan atau
lembaga bersifat atributif artinya tidak menimbulkan kewajiban menyampaikan
laporan atas pelaksanaan kekuasaan itu. Di dalam Pasal 20 UU No. 23 tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia disebutkan bahwa
Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan
dan mengedarkan uang rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dimaksud
dari peredaran. Kewenangan ini bersifat atributif sehingga tidak perlu dipertanggung jawabkan
kepada lembaga yang lebih tinggi. Konsekuensinya, produk yang dikeluarkan oleh
lembaga dengan wewenang atributif bersifat mengikat dan apabila tidak diindahkan
sanksi dapat dikenakan kepada mereka yang tidak mengindahkan atau menghormati produk
itu. Dengan demikian, apabila ada fihak yang tidak menghargai uang kertas yang dikeluarkan
oleh Bank Indonesia, fihak tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan yang
ditetapkan dalam Undang-Undang.Legal tender atau alat pembayaran yang sah pada
saat ini pada umumnya dibuat dari kertas dan logam. Uang logam ini disebut coin
.Pada masa sekarang coin biasanya dibuat dari logam yang harganya lebih rendah
dari nilai nominal yang tertera pada coin tersebut. Disamping itu nilai nominal
coin pada umumnya lebih kecil daripada nilai nominal uang kertas karena memang
untuk transaksi kecil. Sebagai legal tender, coin juga harus dihormati. Oleh
karena itulah penolakan terhadap coin juga dapat dikenakan sanksi. Akan tetapi
kalau saja ketentuan itu diterapkan tanpa pembatasan tertentu, hal itu akan
menyulitkan penjual barang-barang bernilai tinggi. Dapat dibayangkan kalau misalnya dalam suatu transaksi yang bernilai jutaan rupiah dibayar dengan
coin seratusan rupiah atau paling tinggi lima ratusan rupiah, pihak penjual
akan dihadapkan kepada suatu situasi yang dilematis. Kalau menolak pembayaran
dengan coin berarti menolak legal tender dan hal ini merupakan perbuatan yang
dikenai sanksi. Sedangkan kalau menerima, transaksi lain akan terhambat hanya
untuk menghitung jumlah coin. Jika dalam satu hari ada satu saja transaksi
semacam itu, dapat dibayangkan betapa banyak waktu yang terbuang yang sebenarnya
dapat digunakan untuk yang lain. Dari penelusuran terhadap Undang-Undang Mata
Uang negara lain, ternyata di dalam perundang-undangan negara-negara tersebut ditetapkan
adanya pembatasan penggunaan coin. Dengan adanya pembatasan tersebut
dimaksudkan bahwa Undang-Undang yang dibuat tidak menghambat transaksi bisnis
di satu pihak dan di pihak lain tetap menghargai coin sebagai legal tender sesuai
dengan tujuannya yaitu untuk transaksi kecil sehingga tidak mudah rusak karena perputarannya
yang sangat intensif. Apabila mata uang dengan nilai sebesar itu dibuat dari
kertas, dikhawatirkan akan cepat rusak. Dengan demikian, pembayaran dengan coin
untuk transaksi jutaan rupiah tidak sesuai dengan tujuan diproduksinya coin.
Akan tetapi tidak berarti bahwa pembatasan tersebut menyebabkan coin menjadi illegal
tender. Di dalam hukum istilah legal tidak berarti dilawankan dengan
istilah illegal sama halnya istilah “dinyatakan tidak bersalah” tidak berarti “dinyatakan
benar”. Penolakan terhadap rupiah tidak dikenai sanksi pidana. Hal ini disebabkan
perbuatan tersebut terbukti bukan merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat
dan juga tidak anti sosial. Bagi kalangan pebisnis apapun mata uang diberlakukan
apakah rupiah, dollar, ataupun mata uang kuat lainnya tidak menjadi masalah.
Yang penting adalah bagaimana mendorong aktivitas bisnis dengan menggunakan
mata uang rupiah. Selain itu penggunaan mata uang rupiah pada saat sekarang
ini, sudah convertible. Bisa ditukar kapan saja dan dimana saja ada. Apalagi
penukaran mata uang dari rupiah ke mata uang lain ataupun dari mata uang hard/soft
currency lain ke rupiah bias dilakukan di beberapa negara. Bagi kalangan swasta
ataupun pebisnis sebenarnya bukan merupakan suatu masalah besar mengingat sifat
rupiah yang convertible, bisa ditukar dalam satuan mata uang lain secara cepat.
Selain itu pemakaian jenis mata uang apapun bagi kalangan bisnis yang paling
utama adalah profit/keuntungan. Sepanjang dengan menggunakan mata uang rupiah
lebih menguntungkan, digunakanlah rupiah. Bahkan menurut temuan dalam
penelitian ini, para pebisnis yang melakukan quotation dalam
dollar, akan senang kalau dibayar dengan denominasi rupiah dengan kurs yang
ditetapkan lebih tinggi dari pada yang ada di pasar. Dalam studi perbandingan
dengan Currency Act negara-negara lain seperti Kanada, Singapura, dan Thailand
tidak dijumpai ancaman pidana bagi mereka yang menolak menggunakan mata uang
negeri itu untuk transaksi domestik di negara-negara itu. Bahkan menurut pengalaman
para peneliti dalam penelitian ini, justru yang sebaliknya yang terjadi, yaitu
ketika para peneliti ini di Australia dan New Zealand, kedua negara itu tidak
mau menerima dollar Amerika Serikat. Begitu juga negara-negara Eropa yang
menggunakan Euro, menolak menerima mata uang asing lain selain Euro.
E. Cakupan RUU Mata Uang Undang-Undang
ini seyogianya dimulai dengan pengaturan mengenai Macam dan Harga Mata Uang.
Pengaturan demikian dituangkan dalam Bab I. Mengenai hal ini substansi dalam
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 1999 dapat diambil alih karena susunannya sudah tepat. Pertama
yang perlu diatur adalah penetapan rupiah sebagai satuan mata uang Republik
Indonesia, penetapan uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah, macam uang (uang
kertas dan uang logam) dan denominasinya. Selanjutnya juga perlu diatur harga
mata uang. Disamping itu dalam bab ini juga diatur mengenai penggunaan rupiah. Selanjutnya
dalam Bab II diatur mengenai keharusan menggunakan uang rupiah untuk setiap
transaksi di wilayah Republik Indonesia. Pengaturan mengenai mata uang ditujukan
untuk menjaga stabilitas mata uang yang bersangkutan. Dalam kaitan ini sudah
cukup bila diatur adanya keharusan untuk menggunakan mata uang itu dalam setiap
transaksi. Begitu pun dengan mata uang rupiah. Sebenarnya aturan yang
mengharuskan digunakannya uang rupiah dalam setiap perbuatan yang menimbulkan kewajiban
pembayaran dengan uang, sudah cukup sehingga tidak perlu lagi aturan tentang
penolakan. Justru yang perlu diatur adalah hak untuk menolak jika orang yang
akan menerima pembayaran itu mempunyai alasan yang sah untuk menolak, misalnya
karena fisik uang cacat atau diduga palsu. Keharusan untuk menggunakan uang
rupiah dalam setiap transaksi sekalipun hal itu dilakukan di wilayah Republik
Indonesia tidak dapat diterapkan secara
kaku. Terdapat situasi yang memungkinkan dilakukannya pengecualian. Namun
demikian, pengecualian itu tidak perlu harus dengan Undang-Undang seperti yang
termuat dalam RUU Mata Uang. Hal itu jelas membutuhkan waktu dan
biaya serta tidak selaras dengan semangat dan prinsip kepastian hukum dalam
penyusunan RUU Mata Uang ini. Sebaliknya, pengecualian itu cukup dengan Peraturan
Bank Indonesia (PBI) yang pokok-pokoknya dapat merujuk pada bagian penjelasan
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 1999. Perlu pula dikecualikan setiap kewajiban pembayaran
dengan uang yang terjadi atau disepakati sebelum lahirnya Undang-Undang Mata Uang.
Sekalipun terdapat asas bahwa Undang-Undang tidak berlaku surut (retro aktif),
untuk kepastian hukum pengecualian tersebut tetap diperlukan. Bab-bab berikut
yaitu yang mengatur mengenai Ciri-ciri, Desain dan Bahan Uang, demikian juga Pengeluaran,
Pengedaran, Pencabutan dan Pemusnahan Uang, serta Penukaran Uang dan Penanganan
Uang Palsu, merupakan kewenangan dan tanggung jawab kelembagaan dalam hal ini
Bank Indonesia. Terkait dengan kewenangan dan tanggung jawab Bank Indonesia
ini, substansi yang perlu diatur adalah tanggung gugat baik mengenai
penggantian uang maupun penukaran uang. Sementara mengenai penanganan uang
palsu, perlu diatur perlindungan hukum bagi pemegang/pemilik uang yang diduga
palsu sementara ia tidak tahu jika yang dipegang atau dimilikinya adalah palsu.
Hal ini penting karena adanya realita bahwa uang yang ditarik dari mesin ATM
ada juga yang palsu. Dalam kaitan ini perlu diperhatikan prinsip itikad baik
bagi orang yang memegang/memiliki uang yang tidak tahu bahwa uang itu palsu.***** ( E.Kar/GPP_NKRI )
GENERASI PENERUS PEJUANG NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
( GPP - NKRI ) Desember 2013
GENERASI PENERUS PEJUANG NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
( GPP - NKRI ) Desember 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar