I. PENDAHULUAN
GPP-NKRI
adalah sebuah Perkumpulan yang didirikan untuk meneruskan cita-cita dari
pendiri bangsa ini, yang akhir-akhir ini banyak diselewengkan untuk kepentingan
pribadi dan kepentingan politik sesaat, sehingga berakibat rusaknya tatanan
yang sudah dibentuk dan menjadi pondasi dasar dalam hidup bermasyarakat dan
bernegara. Rusaknya tatanan bernegara ditandai masalah keseimbangan lingkungan
yang menjadi rusak akibat dari beberapa kepentingan yang tidak sejalan, bahkan
bertentangan dengan amanat dari pendiri bangsa ini yang berakibat timbulnya
bencana alam, kerusakan lingkungan, pencemaran, kehancuran ekosistem dan
lain-lain.
Langkah awal
yang akan dilaksanakan oleh GPP-NKRI berkaitan dengan kondisi yang ada terutama
dengan letak domisili kantor yang berdekatan dengan Sungai Citarum adalah
melakukan upaya bersama dengan warga masyarakat, pemerinyah, organisasi
masyarakat bagaimana menyikapi, membuat analisa dan membuat studi bagaimana
menanggulangi permasalahan yang ada terkait dengan Sungai Citarum.
I.1 SEJARAH SUNGAI CITARUM.
Citarum, sungai terpanjang
di Jawa bagian barat, merupakan sungai yang mengalir tepat membelah
tengah-tengah Tatar Priangan. Berhulu di Gunung Wayang, salah satu anak Gunung
Malabar, mengalir melalui cekungan Bandung ke arah Utara, dan bermuara di ujung
Karawang, di Laut Jawa. Sepanjang alirannya sekira 225 km, dari waktu ke waktu
sungai ini merekam kebingungan manusia dalam memahami alam.
Gambar 2 : Situ Cisanti Di Gunung Wayang.
Citarum
merupakan Sungai yang memegang peranan penting dalam sejarah Jawa Barat.
Pertama, nama sungai diambil pula sebagai nama kerajaan Hindu tertua di Jawa
Barat, yaitu Tarumanegara, Purnawarman, kepada Resiguru Manikmaya di daerah
Kendan, Nagreg, yang boleh dikatakan berada di kawasan hulu Citarum. Kerajaan
ini kemudian oleh Wretikandayun, cucu Manikmaya, dialihkan ke Galuh. Berdirinya
Kerajaan Galuh telah membagi kerajaan di Tanah Sunda menjadi dua dengan batas
Sungai Citarum.
Pada masa-masa
awal berdirinya Kota Bandung pada tahun 1810, Krapyak, Ibu kota Tatar Ukur yang
meliputi cekungan Bandung, berada di tepi sungai Citarum. Setelah kepindahannya
ke Kota Bandung sekarang, Krapyak lalu berubah nama menjadi Dayeuh Kolot ( Kota
Tua ). Sepanjang Citarum saat itu besar kemungkinan merupakan deretan
kampung-kampung yang mengandalkan Sungan Citarum sebagai akses utama Tatar Ukur
sebagaimana kebudayaan lama yang selalu mengandalkan aliran sungai.
Pada masa modern
ini, bukan main jasa Citarum bagi rakyat Pulau Jawa. Dari alirannya telah
terbangun tiga bendungan besar yang memberi energi listrik untuk Jawa dan Bali,
dan air irigasi untuk Jakarta dan Jawa Barat Utara. Bendungan-bendungan itu,
yaitu Jatiluhur dibendung tahun 1967, Saguling tahun 1985, dan Cirata
tahun1988, seakan-akan merupakan ramlan yang terwujud dari legenda Sangkuriang
yang juga membendung Citarum untuk dapat menyunting Dayang Sumbi.
Cerita singkat
Citarum di atas selain mencatat kedigdayaan manusia atas alam, tetapi juga
dibalik itu mengandung kebingungan manusia dalam memahami alam. Kebingungan itu
terutama terjadi pada akhir-akhir ini ketika akibat bencana banjir yang selalu
mendera setiap tahun, beberapa orang yang merasa digdaya atas alam, dengan
semena-mena menyalahkan alam sebagai penyebab bencana.
II.LATAR BELAKANG MASALAH.
Pada tahun 9180-an,
masalah banjir Bandung Selatan telah di bahas alot. Dalam pembahasan itu
keluarlah beberapa faktor yang dijadikan kambing hitam bencana Banjir Bandung
Selaan, diantaranya dua penyebab di atas yaitu aliran pelan bermeander dengan
gradien sungai sangat kecil, dan penghalang Curug Jompong. Penyebab lain dalah
karena hampir seluruh anak-anak sungai bermuara ke Citarum di tempat yang
hampir berdekatan. Sungai-sungai Cikeruh, Citarik, dan Cirasiah bermuara ke
Citarum di Majalaya, serta Cikapundung dan Cisangkuy di Dayeuh Kolot. Tambahan
pula, anak-anak sungai itu masuk ke Citarum dalam arah tegak lurus. Bagaikan
dipersimpangan jalan yang ramai, maka kemacetan aliran air terjadi pula di
pertemuaan sungai-sungai ini pada puncak musim hujan. Maka meluaplah air sungai
menggenangi dataran banjir yang terbentuk sepanjang alirannya dari Majalaya ke
Dayeuh Kolot.
Proses di atas
adalah proses yang sangat alamiah dari suatu aliran sungai sebesar Citarum yang
telah dilakoninya sejak beribu-ribu tahun. Sejak mengalir dari sumbernya di
Cisanti, lereng Gunung Wayang selatan Gunung Malabar, Sungai Citarum mengalir
melalui lembah yang menyayat tajam di daerah Pacet hingga Maruyung. Di daerah
selatan Majalaya, Sungai Citarum membentuk kipas aluvial akibat masuknya aliran
sungan dari daerah pegunungan ke dataran. Mulai daerah Jolok di Majalaya yan
bermorfologi sangat datar, Citarum mengekspresikan alirannya dengan meander
yang berkelok-kelok melengkung-lengkung hingga Dayeuh Kolat dan Margahayu. Dari
sinilah banyak anak-anak sungainya bergabung membentuk aliran yang lebih besar.
Memasuki daera
Nanjung di suatu tempat yang disebut Leuwi Sapi, sungai mulai mengikis tajam
membentuk lembeh berdinding terjal. Alirannya kemudian membentuk jeram cascade
yang dikenal sebagai Curug Jompong, mengikis batuan intrusi dasit, sisa-sisa
gunung api purba berumur Pliosen, kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Setelah
melewati jeram ini, gradien sungai meninggi dan aliran menjadi kencang sebelum
berhenti ketika memasuki kawasan tenang Waduk Saguling di Batujajar.
III. IDENTIFIKASI MASALAH.
III.1. Masalah
Krusial Banjir Bandung Selatan.
Banjir di
Bandung Selatan Desember 2008 ini sesungguhnya sudah diprediksi 22 tahun yang
lalu, namun Pemerintah dan masyarakat selalu berbeda kemauan dan terjadi
tarik-menarik kepentingan sehingga banjir di Bandung Selatan parsial alias
tidak tuntas. Akibatnya, banjir di wilayah itu tetap menimbulkan masalah yang
krusial hingga sekarang.
Berdasarkan
dokumentasi liputan berita Pikiran Rakyat, 22 tahun lalu, pakar lingkungan
sudah mengingatkan bahwa Bandung Selatan akan terkena banjir besar bersiklus 20
atau 25 tahunan. Prediksi itu disampaikan Maret 1986, ketika Bandung Selatan
dilanda banjir besar ( jauh lebih parah
dibandingkan dengan sekarang ) yang “menenggelamkan” 10 desa di 10 kecamatan.
Tujuh kecamatan diantaranya yakni : Baleendah, Buahbatu, Dayeuhkolot, Majalaya,
Rancaekek, Banjaran, dan Pameungpeuk, terkena banjir paling parah.
Pada 19 Maret 1986, Presiden Soeharto menugaskan Sekretaris
Pengendali Operasional Pembangunan ( Sesdalopbang ) Solihin G.P. terjn langsung
ke banjir Bandung Selatan. Mantan Gubernur Jawa Barat ini dinilai mampu
mengatasi masalah. Selama Solihin G.P. menjabat Gubernur Jawa Barat 1970-an,
tidak pernah terjadi banjir sehebat di daerah Bandung Selatan. Solihin G.P.
marah kepada pejabat Kabupaten Bandung karena tidak menguasai secara detail
permasalahan banjir sehingga pemerintah tidak bisa cepat melakukan
penanggulangan.
Pemerintah
akhirnya memutuskan mengeruk Sungai Citarum sepanjang 5,8 km antara
Baleendah-Dayeuhkolot yang sudah dangkal akibat sedimentasi. Diputuskan juga
memperpendek aliran Sunyai Cisangkuy dengan membuat sungai baru sepanjang 3 km
dari Rancaengang hingga ke Citarum di daerah Cibolerang. Dengan demikian, muara
Cisangkuy di Citarum tidak ada lagi di Dayeuhkolot melainkan di Cibolerang.
Biaya pengerukan dan pembuatan sungai baru Rp 2,4 miliar dianggarkan pada APBD
Pemerintah Kabupaten Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun
1986/1987.
Pemerintah juga
berencana membebaskan bantaran Citarum dari permukiman. Ribuan rumah di
bantaran Citarum sepanjang 6 km di Dayeuhkolot dan Baleendah, harus
direlokasi/dipindahkan karena pengerukan Citarum tidak akan berarti bila
bantaran Citarum masih dijadikan permukiman. Kepadatan Penduduk di areal banjir
antara 400 sampai 600 KK setiap km persegi. Bahkan di tepian/bantaran Citarum
di wilayah Kelurahan Baleendah, Dayeuhkolot, dan Kelurahan Andir Kecamatan
Pameungpeuk, lebih padat lagi.
Pemerintah pun
memutuskan untuk memulihkan penghijauan dan reboisasi di sepanjang 36 km alur
sungai Citarum mulai hulu sampai ke Curug Jompong di Nanjung kecamatan
Btujajar.
Di pihak lain,
ahli lingkungan menyampaikan pandangannya mengenai penyebab banjir hebat di
Bandung Selatan ketika itu. Ahli Hidrologi dan Peneliti pada Pusat Penelitian
Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran, Drs. Supriyo
Ambar menyatakan, warga Kotamadya Bnadung ikut menjadi penyebab banjir. Tahun
2987, luas wilayah yang tertutup di Kotamadya Bandung 65%. Tahun 1981 menjadi
85,6% . Tahun 1986 areal tertutupnya hampir mencapai 90%. Dengan demikian,
areal terbuka yang masih bisa menyerap air sedikit sekali.
Kabupaten
Bandung juga demikian. Areal tertutup tahun 1987 hanya 11,9%. Tahun 1981
meningkat menjadi 12,4%. Tahun 1986 areal tertutup meningkat menjadi 20%.
Guru besar
Emiritu dan direktur PPSDAL Universitas Padjadjaran, Prof.Dr.Otto Soemarwoto,
ketika itu menyatakan , kombinasi antara curah hujan yang tinggi, topografi,
dan faktor sosial ekonomi menjadi penyebab daerah Dayeuhkolot, Majalaya,
Rancaekek, Cicalengka, rawan banjir. Frekwensi terjadinya banjir yang makin
meningkat menunjukan kemampuan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan, Sudah terlampui. Oleh karena itu, baik
Kabupaten Bandung maupun Kota Madya, harus menahan diri untuk pembangunan yang
bersifat manaikan tekanan penduduk dan laju erosi, serta yang mengurangi
resapan air tanah.
Dua tahun
sebelum banjir besar itu, yakni tahun 1984, Prof.Otto Soemarwoto mengusulkan
kepda pemerintah agar membentuk supercrash programme untuk menanggulangi banjir
Bandung Selatan yang belum terlalu parah. Di antaranya, meninggikan jalan
sepanjang 6,8 km yang berfungsi langsung sebagai tanggul, khususnya dari batas
jembatan Citarum ke arah Munjul (Baleendah). Mengadakan perbaikan sistem
drainase di Baleendah dan Kotamadya Bandung. Normalisasi alur Citarum dalam
bentuk pengerukan 4 km ke arah hilir dan 2 km ke arah hulu.
Jika banjir
kembali melanda Bandung Selatan Desember 2008 ini, letak kesalahannya ada di
mana dan ada pada pundak siapa ? Pemerintah atau masyarakat ? Atau dua-duanya ?
Setelah banjir
besar Maret 1986, memang ada program pemerintah yang dilaksanakan antara 1988
s/d 1990, yakni relokasi jembatan Citarum yang menghubungkan Bojongsoang dengan
Baleendah, pengerukan Citarum antara Baleendah dan Dayeuhkolot, meninggikan
tanggul di sekitar Desa Andir Kecamatan Dayeuhkolot dan membuat sodetan Citarum
di beberapa tempat. Semuanya berupa normalisasi Citarum.
Akan tetapi ada
program yang tertunda ? bahkan boleh dibilang batal dilakukan ? yakni relokasi
permukiman di bantaran Sungai Citarum antara Sapan dan Dayeuhkolot. Ketika itu
hanya 50 KK yang berangkat trasmigrasi ke Lampung. Sebagian besar tetap tinggal
hingga sekarang.
Hasil
normalisasi saat itu memang tampak. Beberapa tahun Bandung Selatan bebas banjir
dan masyarakat di sekitar hidup tenang meskipun hujan deras mengguyur. Boleh
jadi, masyarakat dan pemerintah terlena karena Citarum sejak banjir Maret 1986
terjadi setiap detik.
Di pihak lain,
permukiman di bantaran Citarum juga bertambah banyak. Sekarang pun masyarakat
di bantaran sungai itu menyatakan tidak sudi direlokasi. Meraka justru meminta
pemerintah meninggikan tanggul di tepian Citarum dan mengeruk sungai itu seperti
dulu.
Di pihak lain,
pemerintah dan para pakar bersitegang soal pemangkasan Curug Jompong. Padahal
jarak antara pusat genangan (Baleendah, Sapan, Dayeuhkolot) dengan Curug
Jompong 21 km !
Rencana
rehabilitasi dab reboisasi daerah hulu sungai yang dibiayai pinjaman asing
puluhan miliar rupiah, juga belum dapat dilaksanakan akibat diprotes LSM karena
khawatir dikorupsi. Jadi, apa sebenernya yang patut dilakukan untuk mengatasi
banjir di Bandung Selatan, sedangkan komplik kepentingan masyarakat, pemerintah
dan LSM masih belum ada ujungnya ?
Mari kita
berkaca pada kenyataan bahwa bajir itu terbukti sebagai benjir siklus 20 atau
25 tahunan. Bahkan agak ekstrem lagi, bisa terjadi pada setiap musim hujan,
tergantung intensitas curah hujannya.
Kalau memang
masyarakat tidak sudi direlokasi, alangkah simpatiknya jika masyarakat dan
pemerintah bergotong royong melakukan normalisasi Sungai Citarum terlebih
dahulu sebelum melakukan rehabilitasi di daerah hulu sungan. Kalau masyarakat
hanya mengandalkan pemerintah, baik dalam melakukan tindakan teknis maupun
menyediakan biayanya yang tidak sedikit, normalisasi Citarum tidak akan
terwujud dalam waktu dekat. Ini berarti, banjir tetap datang dan mungkin
dampaknya lebih besar dari sekarang.
IV. MENGEMBALIKAN FUNGSI CITARUM KEPADA HABITAT AWAL.
Pemerintah Jabar selama ini lebih mementingkan soal kontruksi yaitu
menembok sepanjang sisi sungan (kirmir) dan meluruskan kelokan sungai dengan
tujuan memperlancar arus sungai guna mengeliminir kerugian akibat banjir.
Padahal cara-cara kuno tersebut telah lama ditinggalkan negara-negara Eropa
seperti Jerman dalam mengelola sungai “Mereka tidak lagi meluruskan
kelokan-kelokan sungai. Justru Sungai dibelok-belokan selaras dengan sifat
alamiahnya.
Salah se-orang
warga yang merasakan akibat proyek pelurusan sungai Citarum adalah Wawan, warga
Desa Rancamanyar Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Dia berujar : “Ajaib,
jika Citarum bisa kembali bersih seperti sedia kala !”
Sebelum
diluruskan terdapat 4 leuwi atau teluk atau bagian tanah yang menjorok ke
darat. Yaitu Leuwi Jeungjing, Leuwi Tempuh, Leuwi Orok dan Leuwi Empeng.
Kedalaman Leuwi ini beragam yang paling dalam adalah Leuwi Tempuh dan Leuwi
Jeungjing.
Keruhnya sungai
Citarum di desa Rancamanyar diawali dengan banyak berdirinya pabrik tektil pada
tahun 1973 dan keteledoran pemerintah sehingga limbah pencelupan (dying &
finishing) pabrik tekstil dibuang begitu saja ke Sungai Citarum
Program
pelurusan sungai pada tahun 1989 memperburuk kondisi Sungai Citarum. Awalnya
warga masih memanfaatkan sodetan untuk menanam kangkung, enceng gondok dan
budidaya ikan. Namun terkendala air limpasan ketika musim hujan tiba. Hingga
akhirnya area tersebut ditinggalkan warga, tak terurus dan dipenuhi sampah
plastik.
Sistem
penembokan membuat sungai semakin kotor, karena tidak ada koneksi dengan darat.
Artinya tidak ada zona amfibi. Contoh kecilnya adalah selokan, sebuah selokan
yang ditembok akan berbau busuk karena tidak ada zona amfibi.
IV.1 .ZONA AMFIBI.
Zona Amfibi adalah zona kehidupan perbatasan antara air dan darat. Disebut
amfibi karena zona itulah peralihan antara kodok dan kecebong terjadi.
“Zona amfibi
harus ditambah dengan cara menyengked menggunakan tanaman akar wangi. Akar
wangi sangan efektif untuk mengikat tanah karena akarnya bisa sampai dua meter
dalam waktu kurang dari dua tahun. Penggunaan akar wangi telah dipraktekkan di
sungau-sungai Ethiopia ketika terjadi bencana kelaparan yang diakibatkan
kerusakan sungai. Tanaman akar wangi berjasa memperbaiki kondisi sungai-sungai
mereka secara berangsur-angsur”.
Tanaman akar
wangi banyak ditemukan di daerah Garut Selatan dan sela ini banyak dipanen
untuk diambil minyaknya. Beberapa pakar DPKLTS lainnya menyarankan tanaman
bambu untuk ditanam di sepanjang sisi Sungai Citarum.
Apa yang terjadi apabila pemerintah Jawa Barat bersikeras dengan
rencana semula yaitu memakai cara-cara lama dalam menormalisasikan sungai
Citarum ? Mubiar mengkhawatirkan bencana lingkungan yang lebih besar. “saat
ini, semua kotoran dari pabrik, domestik, dan lainnya masuk ke Sungai Citarum
dan semuanya ditampung di Waduk Saguling. Jika kotoran membusuk akan
memunculkan gas metana penyebab efek rumah kaca dan daya rusaknya puluhan kali
lebih hebat dari gas karbon dioksida,” katanya.
Penjelasan
sederhana untuk menjawab mengapa sebaliknya tidak digunakan cara-cara “modern”
adalah bahwa sehebat-hebatnya bangunan manusia tidak akan mampu melawan
kekuatan alam yang dikuasai Pencipta Alam, Allah SWT.
IV.1. Kirmir Melawan Alam.
Sekokoh apapun jembatan bangunan buatan manusia sebaiknya tidak
ditembok disepanjang sisi sungai tersebut melainkan ditanami bambu atau akar
wangi ( zona amfibi), sesudah zona amfibi barulah di bangu jalan setapak untuk
pejalan kaki.
Adanya zona
amfibi selain menciptakan norman sungai juga mengurangi kemungkinan longsor dan
erosi akibat derasnya aliran sungai dikala hujan besar yang sering
mengakitbatkan air sungai meluap dan membanjiri daera-daerah diseputar Sungai
Citarum. Selain itu masyarakat yang lalu lalang tidak bisa seenaknya membuang
sampah ke sungai karena terhalang tanaman.
V.MENYIAPKAN RENCANA KEGIATAN GPP-NKRI.
Untuk merimbunkan kembali daerah aliran sungai citarum maka GPP-NKRI
rencananya menyebarkan anggotanya di beberapa desa sepanjang aliran sungai
Citarum untuk melakukan beberapa kegiatan. Ada 4 (empat) langkah yang
dilaksanakan GPP-NKRI besrta anggotanya, Yaitu :
1. Transek.
2. Penanaman Bibit Pohon (Pembibitan).
3. Penanaman Pohon.
4. Pemiliharaan Pohon.
Empat tahapan tersebut dapat saya jelaskan sebagai berikut :
1.Transek.
Transek merupakan pemetaan lokasi dengan cara survei langsung
menyusuri aliran sungai Citarum, dari Dayeuh Kolot sampai ke daerah Margahayu
Kabupaten Bandung. Pemetaan ini dilakukan GPP-NKRI dan Tim selama enam hari.
“Dari hasil
transek ini kita bisa menentukan masalah di titik-titik mana saja yang perlu
mendapat penanganan, dan harus seperti apa solusinya. Kita menentukan jarak 500
meter dari sungai tersebut ke arah kanan dan kiri supaya bisa ditemukan
masalahnya, dan dicari solusinya. 500 meter ke arah kanan dan kiri sungai,
berarti adalah perkampungan penduduk di sekitar DAS tersebut.
2.Pembibitan Pohon dan Sosialisasi terhadap
Masyarakat.
Setelah dilakukan pemetaan alias Transek, maka kegiatan selanjutnya
adalah penanaman pohon. Namun sebelumnya, dilakukan penyemaian bibit pohon
terlebih dahulu selama enam bulan. Enam bulan adalah waktu untuk menunggu agar
pohon tumbuh agak besar dan siap ditanam di sepanjang aliran sungai Citarum.
Selama proses
penyemaian bibit tersebut, GPP-NKRI dan TIM melakukan sosialisasi terhadap
warga di sepanjang aliran Sungai Citarum tersebut tentang kegiatan mereka.
Kegiatan Sosilisasi ini menjadi penting agar warga menjadi tahu bahwa DAS
Citarum yang membelah perkampungan mereka sedang berada dalam kondisi kritis.
Maka dari itu pihak GPP-NKRI memberikan pengetahuan kepada warga bahwa
rehabilitasi lahan menjadi sangat penting. Untuk itu peran serta warga turut
dituntut untuk ikut memelihara pohon-pohon yang akan ditanam nanti.
Adapun pohon
yang ditanam adalah pohon-pohon yang bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar DAS
jika pohon tersebut berbuah nantinya. Contoh pohon diantaranya adalah Pohon
Bambu, pohon akar wangi, alpukat, pete, sengon, mangga. Dsb.
3.Penanaman Pohon.
Penanaman pohon
dilakukan di sepanjang Daerah Aliran Sungai, berdasarkan hasil transek atau
pemetaan sebelumnya.
4.Pemeliharaan
Pohon.
Pemeliharaan pohon dilakukan dengan cara bekerja sama dengan warga
sekitar DAS. Penghijauan dan pemeliharaan pohon dilakukan dengan cara menanam
100 Akar Wangi atau Bambu ke-seratus pohon ini, didanai oleh sebuah program
bernama Bapak Asuh Pohon. Dalam program ini, setiap orang menjadi donotur untuk
pemeliharaan satu buah pohon. Ke-100 donatur tersebut akan mendapatkan laporan
tiap bulan tentang perkembangan pemeliharaan pohon tersebut, sedangkan para
pemilik tanah yang ditanami pohon bambu tersebut berhak sepenuhnya atas pohon
bambu tersebut. Sebuah Simbosis yang menguntungkan bukan ?
Desain pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi datar, jarak tanam 3 x2
II.
Desain Tanaman B
Desain pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi miring, jarak tanam 2 x 1
III.
Desain Tanaman C
Desain pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi tanah kering, jarak
tanam 3 x 2
IV.
Desain tanaman D
Desain pola tanam kawasan
sempadan sungai dilokasi bantaran / tanah becek
V.
Desain tanaman E
Desain pola tanam kawasan sempadan sungai
di bawah SUTT / SUTET
VI.
Desain tanaman F
Desain pola tanam
kawasan sempadan sungai di lokasi curam
VII.
Desain tanaman G
Desain
pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi tanah yang becek / bantaran
VII.
KESIMPULAN
- Permasalahan sungai Citarum adalah permasalahan kita semua. Dengan berbagai macam solusi pernah dilakukan, itu perlu di hargai sebagai bentuk kepedulian masyarakat, pemerintah, LSM, dan pihak yang terkait itu semua tidak akan efektif manakala masyarakat terutama yang tinggal di DAS sungai Citarum dan aparat terkait hanya bisa saling menyalahkan.
- Perkumpulan GPP-NKRI sangat menyadari hal tersebut maka dengan segala keterbatasan yang ada mencoba untuk berperan serta aktif dalam upaya dalam menanggulangi permasalahan sungai Citarum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar