Selasa, 11 Desember 2012

Kembalikan Citarum Kepada Habitatnya








I. PENDAHULUAN

              GPP-NKRI adalah sebuah Perkumpulan yang didirikan untuk meneruskan cita-cita dari pendiri bangsa ini, yang akhir-akhir ini banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan kepentingan politik sesaat, sehingga berakibat rusaknya tatanan yang sudah dibentuk dan menjadi pondasi dasar dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Rusaknya tatanan bernegara ditandai masalah keseimbangan lingkungan yang menjadi rusak akibat dari beberapa kepentingan yang tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan amanat dari pendiri bangsa ini yang berakibat timbulnya bencana alam, kerusakan lingkungan, pencemaran, kehancuran ekosistem dan lain-lain.
Langkah awal yang akan dilaksanakan oleh GPP-NKRI berkaitan dengan kondisi yang ada terutama dengan letak domisili kantor yang berdekatan dengan Sungai Citarum adalah melakukan upaya bersama dengan warga masyarakat, pemerinyah, organisasi masyarakat bagaimana menyikapi, membuat analisa dan membuat studi bagaimana menanggulangi permasalahan yang ada terkait dengan Sungai Citarum.

I.1 SEJARAH SUNGAI CITARUM.

            Citarum, sungai terpanjang di Jawa bagian barat, merupakan sungai yang mengalir tepat membelah tengah-tengah Tatar Priangan. Berhulu di Gunung Wayang, salah satu anak Gunung Malabar, mengalir melalui cekungan Bandung ke arah Utara, dan bermuara di ujung Karawang, di Laut Jawa. Sepanjang alirannya sekira 225 km, dari waktu ke waktu sungai ini merekam kebingungan manusia dalam memahami alam.

Gambar 2 : Situ Cisanti Di Gunung Wayang.


Citarum merupakan Sungai yang memegang peranan penting dalam sejarah Jawa Barat. Pertama, nama sungai diambil pula sebagai nama kerajaan Hindu tertua di Jawa Barat, yaitu Tarumanegara, Purnawarman, kepada Resiguru Manikmaya di daerah Kendan, Nagreg, yang boleh dikatakan berada di kawasan hulu Citarum. Kerajaan ini kemudian oleh Wretikandayun, cucu Manikmaya, dialihkan ke Galuh. Berdirinya Kerajaan Galuh telah membagi kerajaan di Tanah Sunda menjadi dua dengan batas Sungai Citarum.
Pada masa-masa awal berdirinya Kota Bandung pada tahun 1810, Krapyak, Ibu kota Tatar Ukur yang meliputi cekungan Bandung, berada di tepi sungai Citarum. Setelah kepindahannya ke Kota Bandung sekarang, Krapyak lalu berubah nama menjadi Dayeuh Kolot ( Kota Tua ). Sepanjang Citarum saat itu besar kemungkinan merupakan deretan kampung-kampung yang mengandalkan Sungan Citarum sebagai akses utama Tatar Ukur sebagaimana kebudayaan lama yang selalu mengandalkan aliran sungai.
Pada masa modern ini, bukan main jasa Citarum bagi rakyat Pulau Jawa. Dari alirannya telah terbangun tiga bendungan besar yang memberi energi listrik untuk Jawa dan Bali, dan air irigasi untuk Jakarta dan Jawa Barat Utara. Bendungan-bendungan itu, yaitu Jatiluhur dibendung tahun 1967, Saguling tahun 1985, dan Cirata tahun1988, seakan-akan merupakan ramlan yang terwujud dari legenda Sangkuriang yang juga membendung Citarum untuk dapat menyunting Dayang Sumbi.
Cerita singkat Citarum di atas selain mencatat kedigdayaan manusia atas alam, tetapi juga dibalik itu mengandung kebingungan manusia dalam memahami alam. Kebingungan itu terutama terjadi pada akhir-akhir ini ketika akibat bencana banjir yang selalu mendera setiap tahun, beberapa orang yang merasa digdaya atas alam, dengan semena-mena menyalahkan alam sebagai penyebab bencana.

II.LATAR BELAKANG MASALAH.

             Pada tahun 9180-an, masalah banjir Bandung Selatan telah di bahas alot. Dalam pembahasan itu keluarlah beberapa faktor yang dijadikan kambing hitam bencana Banjir Bandung Selaan, diantaranya dua penyebab di atas yaitu aliran pelan bermeander dengan gradien sungai sangat kecil, dan penghalang Curug Jompong. Penyebab lain dalah karena hampir seluruh anak-anak sungai bermuara ke Citarum di tempat yang hampir berdekatan. Sungai-sungai Cikeruh, Citarik, dan Cirasiah bermuara ke Citarum di Majalaya, serta Cikapundung dan Cisangkuy di Dayeuh Kolot. Tambahan pula, anak-anak sungai itu masuk ke Citarum dalam arah tegak lurus. Bagaikan dipersimpangan jalan yang ramai, maka kemacetan aliran air terjadi pula di pertemuaan sungai-sungai ini pada puncak musim hujan. Maka meluaplah air sungai menggenangi dataran banjir yang terbentuk sepanjang alirannya dari Majalaya ke Dayeuh Kolot.
Proses di atas adalah proses yang sangat alamiah dari suatu aliran sungai sebesar Citarum yang telah dilakoninya sejak beribu-ribu tahun. Sejak mengalir dari sumbernya di Cisanti, lereng Gunung Wayang selatan Gunung Malabar, Sungai Citarum mengalir melalui lembah yang menyayat tajam di daerah Pacet hingga Maruyung. Di daerah selatan Majalaya, Sungai Citarum membentuk kipas aluvial akibat masuknya aliran sungan dari daerah pegunungan ke dataran. Mulai daerah Jolok di Majalaya yan bermorfologi sangat datar, Citarum mengekspresikan alirannya dengan meander yang berkelok-kelok melengkung-lengkung hingga Dayeuh Kolat dan Margahayu. Dari sinilah banyak anak-anak sungainya bergabung membentuk aliran yang lebih besar.
Memasuki daera Nanjung di suatu tempat yang disebut Leuwi Sapi, sungai mulai mengikis tajam membentuk lembeh berdinding terjal. Alirannya kemudian membentuk jeram cascade yang dikenal sebagai Curug Jompong, mengikis batuan intrusi dasit, sisa-sisa gunung api purba berumur Pliosen, kira-kira 4 juta tahun yang lalu. Setelah melewati jeram ini, gradien sungai meninggi dan aliran menjadi kencang sebelum berhenti ketika memasuki kawasan tenang Waduk Saguling di Batujajar.

III.       IDENTIFIKASI MASALAH.

III.1. Masalah Krusial Banjir Bandung Selatan.

Banjir di Bandung Selatan Desember 2008 ini sesungguhnya sudah diprediksi 22 tahun yang lalu, namun Pemerintah dan masyarakat selalu berbeda kemauan dan terjadi tarik-menarik kepentingan sehingga banjir di Bandung Selatan parsial alias tidak tuntas. Akibatnya, banjir di wilayah itu tetap menimbulkan masalah yang krusial hingga sekarang.
Berdasarkan dokumentasi liputan berita Pikiran Rakyat, 22 tahun lalu, pakar lingkungan sudah mengingatkan bahwa Bandung Selatan akan terkena banjir besar bersiklus 20 atau 25 tahunan. Prediksi itu disampaikan Maret 1986, ketika Bandung Selatan dilanda banjir besar  ( jauh lebih parah dibandingkan dengan sekarang ) yang “menenggelamkan” 10 desa di 10 kecamatan. Tujuh kecamatan diantaranya yakni : Baleendah, Buahbatu, Dayeuhkolot, Majalaya, Rancaekek, Banjaran, dan Pameungpeuk, terkena banjir paling parah.


Pada 19 Maret 1986, Presiden Soeharto menugaskan Sekretaris Pengendali Operasional Pembangunan ( Sesdalopbang ) Solihin G.P. terjn langsung ke banjir Bandung Selatan. Mantan Gubernur Jawa Barat ini dinilai mampu mengatasi masalah. Selama Solihin G.P. menjabat Gubernur Jawa Barat 1970-an, tidak pernah terjadi banjir sehebat di daerah Bandung Selatan. Solihin G.P. marah kepada pejabat Kabupaten Bandung karena tidak menguasai secara detail permasalahan banjir sehingga pemerintah tidak bisa cepat melakukan penanggulangan.
Pemerintah akhirnya memutuskan mengeruk Sungai Citarum sepanjang 5,8 km antara Baleendah-Dayeuhkolot yang sudah dangkal akibat sedimentasi. Diputuskan juga memperpendek aliran Sunyai Cisangkuy dengan membuat sungai baru sepanjang 3 km dari Rancaengang hingga ke Citarum di daerah Cibolerang. Dengan demikian, muara Cisangkuy di Citarum tidak ada lagi di Dayeuhkolot melainkan di Cibolerang. Biaya pengerukan dan pembuatan sungai baru Rp 2,4 miliar dianggarkan pada APBD Pemerintah Kabupaten Bandung dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat tahun 1986/1987.
Pemerintah juga berencana membebaskan bantaran Citarum dari permukiman. Ribuan rumah di bantaran Citarum sepanjang 6 km di Dayeuhkolot dan Baleendah, harus direlokasi/dipindahkan karena pengerukan Citarum tidak akan berarti bila bantaran Citarum masih dijadikan permukiman. Kepadatan Penduduk di areal banjir antara 400 sampai 600 KK setiap km persegi. Bahkan di tepian/bantaran Citarum di wilayah Kelurahan Baleendah, Dayeuhkolot, dan Kelurahan Andir Kecamatan Pameungpeuk, lebih padat lagi.
Pemerintah pun memutuskan untuk memulihkan penghijauan dan reboisasi di sepanjang 36 km alur sungai Citarum mulai hulu sampai ke Curug Jompong di Nanjung kecamatan Btujajar.
Di pihak lain, ahli lingkungan menyampaikan pandangannya mengenai penyebab banjir hebat di Bandung Selatan ketika itu. Ahli Hidrologi dan Peneliti pada Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL) Universitas Padjadjaran, Drs. Supriyo Ambar menyatakan, warga Kotamadya Bnadung ikut menjadi penyebab banjir. Tahun 2987, luas wilayah yang tertutup di Kotamadya Bandung 65%. Tahun 1981 menjadi 85,6% . Tahun 1986 areal tertutupnya hampir mencapai 90%. Dengan demikian, areal terbuka yang masih bisa menyerap air sedikit sekali.
Kabupaten Bandung juga demikian. Areal tertutup tahun 1987 hanya 11,9%. Tahun 1981 meningkat menjadi 12,4%. Tahun 1986 areal tertutup meningkat menjadi 20%.
Guru besar Emiritu dan direktur PPSDAL Universitas Padjadjaran, Prof.Dr.Otto Soemarwoto, ketika itu menyatakan , kombinasi antara curah hujan yang tinggi, topografi, dan faktor sosial ekonomi menjadi penyebab daerah Dayeuhkolot, Majalaya, Rancaekek, Cicalengka, rawan banjir. Frekwensi terjadinya banjir yang makin meningkat menunjukan kemampuan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum hulu untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, Sudah terlampui. Oleh karena itu, baik Kabupaten Bandung maupun Kota Madya, harus menahan diri untuk pembangunan yang bersifat manaikan tekanan penduduk dan laju erosi, serta yang mengurangi resapan air tanah.
Dua tahun sebelum banjir besar itu, yakni tahun 1984, Prof.Otto Soemarwoto mengusulkan kepda pemerintah agar membentuk supercrash programme untuk menanggulangi banjir Bandung Selatan yang belum terlalu parah. Di antaranya, meninggikan jalan sepanjang 6,8 km yang berfungsi langsung sebagai tanggul, khususnya dari batas jembatan Citarum ke arah Munjul (Baleendah). Mengadakan perbaikan sistem drainase di Baleendah dan Kotamadya Bandung. Normalisasi alur Citarum dalam bentuk pengerukan 4 km ke arah hilir dan 2 km ke arah hulu.
Jika banjir kembali melanda Bandung Selatan Desember 2008 ini, letak kesalahannya ada di mana dan ada pada pundak siapa ? Pemerintah atau masyarakat ? Atau dua-duanya ?
Setelah banjir besar Maret 1986, memang ada program pemerintah yang dilaksanakan antara 1988 s/d 1990, yakni relokasi jembatan Citarum yang menghubungkan Bojongsoang dengan Baleendah, pengerukan Citarum antara Baleendah dan Dayeuhkolot, meninggikan tanggul di sekitar Desa Andir Kecamatan Dayeuhkolot dan membuat sodetan Citarum di beberapa tempat. Semuanya berupa normalisasi Citarum.
Akan tetapi ada program yang tertunda ? bahkan boleh dibilang batal dilakukan ? yakni relokasi permukiman di bantaran Sungai Citarum antara Sapan dan Dayeuhkolot. Ketika itu hanya 50 KK yang berangkat trasmigrasi ke Lampung. Sebagian besar tetap tinggal hingga sekarang.
Hasil normalisasi saat itu memang tampak. Beberapa tahun Bandung Selatan bebas banjir dan masyarakat di sekitar hidup tenang meskipun hujan deras mengguyur. Boleh jadi, masyarakat dan pemerintah terlena karena Citarum sejak banjir Maret 1986 terjadi setiap detik.
Di pihak lain, permukiman di bantaran Citarum juga bertambah banyak. Sekarang pun masyarakat di bantaran sungai itu menyatakan tidak sudi direlokasi. Meraka justru meminta pemerintah meninggikan tanggul di tepian Citarum dan mengeruk sungai itu seperti dulu.
Di pihak lain, pemerintah dan para pakar bersitegang soal pemangkasan Curug Jompong. Padahal jarak antara pusat genangan (Baleendah, Sapan, Dayeuhkolot) dengan Curug Jompong 21 km !
Rencana rehabilitasi dab reboisasi daerah hulu sungai yang dibiayai pinjaman asing puluhan miliar rupiah, juga belum dapat dilaksanakan akibat diprotes LSM karena khawatir dikorupsi. Jadi, apa sebenernya yang patut dilakukan untuk mengatasi banjir di Bandung Selatan, sedangkan komplik kepentingan masyarakat, pemerintah dan LSM masih belum ada ujungnya ?
Mari kita berkaca pada kenyataan bahwa bajir itu terbukti sebagai benjir siklus 20 atau 25 tahunan. Bahkan agak ekstrem lagi, bisa terjadi pada setiap musim hujan, tergantung intensitas curah hujannya.
Kalau memang masyarakat tidak sudi direlokasi, alangkah simpatiknya jika masyarakat dan pemerintah bergotong royong melakukan normalisasi Sungai Citarum terlebih dahulu sebelum melakukan rehabilitasi di daerah hulu sungan. Kalau masyarakat hanya mengandalkan pemerintah, baik dalam melakukan tindakan teknis maupun menyediakan biayanya yang tidak sedikit, normalisasi Citarum tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Ini berarti, banjir tetap datang dan mungkin dampaknya lebih besar dari sekarang.

IV.       MENGEMBALIKAN FUNGSI CITARUM KEPADA HABITAT AWAL. 

Pemerintah Jabar selama ini lebih mementingkan soal kontruksi yaitu menembok sepanjang sisi sungan (kirmir) dan meluruskan kelokan sungai dengan tujuan memperlancar arus sungai guna mengeliminir kerugian akibat banjir. Padahal cara-cara kuno tersebut telah lama ditinggalkan negara-negara Eropa seperti Jerman dalam mengelola sungai “Mereka tidak lagi meluruskan kelokan-kelokan sungai. Justru Sungai dibelok-belokan selaras dengan sifat alamiahnya.
Salah se-orang warga yang merasakan akibat proyek pelurusan sungai Citarum adalah Wawan, warga Desa Rancamanyar Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung. Dia berujar : “Ajaib, jika Citarum bisa kembali bersih seperti sedia kala !”
Sebelum diluruskan terdapat 4 leuwi atau teluk atau bagian tanah yang menjorok ke darat. Yaitu Leuwi Jeungjing, Leuwi Tempuh, Leuwi Orok dan Leuwi Empeng. Kedalaman Leuwi ini beragam yang paling dalam adalah Leuwi Tempuh dan Leuwi Jeungjing.
Keruhnya sungai Citarum di desa Rancamanyar diawali dengan banyak berdirinya pabrik tektil pada tahun 1973 dan keteledoran pemerintah sehingga limbah pencelupan (dying & finishing) pabrik tekstil dibuang begitu saja ke Sungai Citarum

Program pelurusan sungai pada tahun 1989 memperburuk kondisi Sungai Citarum. Awalnya warga masih memanfaatkan sodetan untuk menanam kangkung, enceng gondok dan budidaya ikan. Namun terkendala air limpasan ketika musim hujan tiba. Hingga akhirnya area tersebut ditinggalkan warga, tak terurus dan dipenuhi sampah plastik.
Sistem penembokan membuat sungai semakin kotor, karena tidak ada koneksi dengan darat. Artinya tidak ada zona amfibi. Contoh kecilnya adalah selokan, sebuah selokan yang ditembok akan berbau busuk karena tidak ada zona amfibi.

IV.1  .ZONA AMFIBI.

Zona Amfibi adalah zona kehidupan perbatasan antara air dan darat. Disebut amfibi karena zona itulah peralihan antara kodok dan kecebong terjadi.
“Zona amfibi harus ditambah dengan cara menyengked menggunakan tanaman akar wangi. Akar wangi sangan efektif untuk mengikat tanah karena akarnya bisa sampai dua meter dalam waktu kurang dari dua tahun. Penggunaan akar wangi telah dipraktekkan di sungau-sungai Ethiopia ketika terjadi bencana kelaparan yang diakibatkan kerusakan sungai. Tanaman akar wangi berjasa memperbaiki kondisi sungai-sungai mereka secara berangsur-angsur”.
Tanaman akar wangi banyak ditemukan di daerah Garut Selatan dan sela ini banyak dipanen untuk diambil minyaknya. Beberapa pakar DPKLTS lainnya menyarankan tanaman bambu untuk ditanam di sepanjang sisi Sungai Citarum.


Apa yang terjadi apabila pemerintah Jawa Barat bersikeras dengan rencana semula yaitu memakai cara-cara lama dalam menormalisasikan sungai Citarum ? Mubiar mengkhawatirkan bencana lingkungan yang lebih besar. “saat ini, semua kotoran dari pabrik, domestik, dan lainnya masuk ke Sungai Citarum dan semuanya ditampung di Waduk Saguling. Jika kotoran membusuk akan memunculkan gas metana penyebab efek rumah kaca dan daya rusaknya puluhan kali lebih hebat dari gas karbon dioksida,” katanya.
Penjelasan sederhana untuk menjawab mengapa sebaliknya tidak digunakan cara-cara “modern” adalah bahwa sehebat-hebatnya bangunan manusia tidak akan mampu melawan kekuatan alam yang dikuasai Pencipta Alam, Allah SWT.

IV.1.  Kirmir Melawan Alam.
Sekokoh apapun jembatan bangunan buatan manusia sebaiknya tidak ditembok disepanjang sisi sungai tersebut melainkan ditanami bambu atau akar wangi ( zona amfibi), sesudah zona amfibi barulah di bangu jalan setapak untuk pejalan kaki.
Adanya zona amfibi selain menciptakan norman sungai juga mengurangi kemungkinan longsor dan erosi akibat derasnya aliran sungai dikala hujan besar yang sering mengakitbatkan air sungai meluap dan membanjiri daera-daerah diseputar Sungai Citarum. Selain itu masyarakat yang lalu lalang tidak bisa seenaknya membuang sampah ke sungai karena terhalang tanaman.

V.MENYIAPKAN RENCANA KEGIATAN GPP-NKRI.

Untuk merimbunkan kembali daerah aliran sungai citarum maka GPP-NKRI rencananya menyebarkan anggotanya di beberapa desa sepanjang aliran sungai Citarum untuk melakukan beberapa kegiatan. Ada 4 (empat) langkah yang dilaksanakan GPP-NKRI besrta anggotanya, Yaitu :
1.       Transek.
2.       Penanaman Bibit Pohon (Pembibitan).
3.       Penanaman Pohon.
4.       Pemiliharaan Pohon.


Empat tahapan tersebut dapat saya jelaskan sebagai berikut :

1.Transek.

Transek merupakan pemetaan lokasi dengan cara survei langsung menyusuri aliran sungai Citarum, dari Dayeuh Kolot sampai ke daerah Margahayu Kabupaten Bandung. Pemetaan ini dilakukan GPP-NKRI dan Tim selama enam hari.
“Dari hasil transek ini kita bisa menentukan masalah di titik-titik mana saja yang perlu mendapat penanganan, dan harus seperti apa solusinya. Kita menentukan jarak 500 meter dari sungai tersebut ke arah kanan dan kiri supaya bisa ditemukan masalahnya, dan dicari solusinya. 500 meter ke arah kanan dan kiri sungai, berarti adalah perkampungan penduduk di sekitar DAS tersebut.

2.Pembibitan Pohon dan Sosialisasi terhadap Masyarakat.

Setelah dilakukan pemetaan alias Transek, maka kegiatan selanjutnya adalah penanaman pohon. Namun sebelumnya, dilakukan penyemaian bibit pohon terlebih dahulu selama enam bulan. Enam bulan adalah waktu untuk menunggu agar pohon tumbuh agak besar dan siap ditanam di sepanjang aliran sungai Citarum.
Selama proses penyemaian bibit tersebut, GPP-NKRI dan TIM melakukan sosialisasi terhadap warga di sepanjang aliran Sungai Citarum tersebut tentang kegiatan mereka. Kegiatan Sosilisasi ini menjadi penting agar warga menjadi tahu bahwa DAS Citarum yang membelah perkampungan mereka sedang berada dalam kondisi kritis. Maka dari itu pihak GPP-NKRI memberikan pengetahuan kepada warga bahwa rehabilitasi lahan menjadi sangat penting. Untuk itu peran serta warga turut dituntut untuk ikut memelihara pohon-pohon yang akan ditanam nanti.
Adapun pohon yang ditanam adalah pohon-pohon yang bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar DAS jika pohon tersebut berbuah nantinya. Contoh pohon diantaranya adalah Pohon Bambu, pohon akar wangi, alpukat, pete, sengon, mangga. Dsb.

3.Penanaman Pohon.           

Penanaman pohon dilakukan di sepanjang Daerah Aliran Sungai, berdasarkan hasil transek atau pemetaan sebelumnya.

4.Pemeliharaan Pohon.

Pemeliharaan pohon dilakukan dengan cara bekerja sama dengan warga sekitar DAS. Penghijauan dan pemeliharaan pohon dilakukan dengan cara menanam 100 Akar Wangi atau Bambu ke-seratus pohon ini, didanai oleh sebuah program bernama Bapak Asuh Pohon. Dalam program ini, setiap orang menjadi donotur untuk pemeliharaan satu buah pohon. Ke-100 donatur tersebut akan mendapatkan laporan tiap bulan tentang perkembangan pemeliharaan pohon tersebut, sedangkan para pemilik tanah yang ditanami pohon bambu tersebut berhak sepenuhnya atas pohon bambu tersebut. Sebuah Simbosis yang menguntungkan bukan ?



V.2. Desain rancangan penanaman kawasan sempadan sungai pada berbagai kondisi.

















I.                   Desain Tanaman A
  Desain pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi datar, jarak tanam  3 x2

II.                Desain Tanaman B
  Desain pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi miring, jarak tanam  2 x 1

III.             Desain Tanaman C
  Desain pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi tanah kering, jarak tanam 3 x 2

                                                                                                                                                                                    


IV.             Desain tanaman D

      Desain pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi bantaran / tanah becek

V.                 Desain tanaman  E

  
      Desain pola tanam kawasan sempadan sungai di bawah SUTT /  SUTET

VI.              Desain tanaman   F

 
     Desain pola tanam kawasan sempadan sungai di lokasi curam



    VII.  Desain tanaman  G
     Desain pola tanam kawasan sempadan sungai dilokasi tanah yang becek / bantaran


VII.          KESIMPULAN

  1. Permasalahan sungai Citarum adalah permasalahan kita semua. Dengan berbagai macam solusi pernah dilakukan, itu perlu di hargai sebagai bentuk kepedulian masyarakat, pemerintah, LSM, dan pihak yang terkait itu semua tidak akan efektif manakala masyarakat terutama yang tinggal di DAS sungai Citarum dan aparat terkait hanya bisa saling menyalahkan.

  1. Perkumpulan GPP-NKRI sangat menyadari hal tersebut maka dengan segala keterbatasan yang ada mencoba untuk berperan serta aktif dalam upaya dalam menanggulangi permasalahan sungai Citarum.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar