DALAM
“ KONSERVASI LAHAN DAS TERPADU BERKELANJUTAN “
GREEN EKONOMI
MENUJU MASYARAKAT SEJAHTERA
28 OKTOBER HARI SUMPAH PEMUDA
1 0KTOBER HARI KESAKTIAN PANCASILA
1 Oktober adalah hari selamatnya bangsa Indonesia dari malapetaka
Gerakan 30 September (G.30.S). Selamatnya bangsa Indonesia berkat usaha dan
upaya manusia serta pertolongan Allah
Yang Maha Kuasa.
Deputy II MEN/PANGAD MAYJEN TNI Suprato, Deputy III MEN/PANGAD Mayjen TNI Haryono MT, ASS 1 MEN/PANGAD Mayjen TNI Suparman, ASS III MEN/PANGAD Brigjen TNI DI Pandjaitan, IRKEH OJEN AD Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, yang kemudian beliau mendapat gelar sebagai Pahlawan Revolusi. Usaha PKI untuk menculik dan membunuh MEN PANGAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengalami kegagalan, namun Ajudan beliau Lettu Czi Piere Tendean dan putri beliau yang berumur 5 tahun Ade Irma Suryani Nasution telah gugur menjadi korban kebiadaban gerombolan G 30 S/PKI. Dalam peristiwa ini
Deputy II MEN/PANGAD MAYJEN TNI Suprato, Deputy III MEN/PANGAD Mayjen TNI Haryono MT, ASS 1 MEN/PANGAD Mayjen TNI Suparman, ASS III MEN/PANGAD Brigjen TNI DI Pandjaitan, IRKEH OJEN AD Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, yang kemudian beliau mendapat gelar sebagai Pahlawan Revolusi. Usaha PKI untuk menculik dan membunuh MEN PANGAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengalami kegagalan, namun Ajudan beliau Lettu Czi Piere Tendean dan putri beliau yang berumur 5 tahun Ade Irma Suryani Nasution telah gugur menjadi korban kebiadaban gerombolan G 30 S/PKI. Dalam peristiwa ini
Ade Irma Suryani telah gugur
5 OKTOBER HARI TNI
Kemerdekaan Indonesia bukan semata-mata hadiah dari Jepang. Namun,
kemerdekaan bangsa ini merupakan kehendak Tuhan dan hasil perjuangan keras
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus menjaga dan
bertanggung jawab atas keselamatan negara yang telah merdeka ini.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk keperluan
keamanan dan mempertahankan negara, pemerintah RI mula-mula membentuk
organisasi Badan Keamanan Rakyat atau BKR. Anggotanya para pemuda yang pada umumnya
bekas prajurit Peta.
BKR
sebenarnya bukan resmi sebagai wadah angkatan bersenjata. Padahal, negara
terancam perang. Hal ini disadari pemerintah. Oleh karena itu, pada tanggal 5
Oktober 1945, dibentuklah Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Tanggal 18
Desember 1945 Presiden melantik Kolonel Sudirman sebagai Panglima Besar
TKR, dengan pangkat Letnan Jenderal. Dan pada waktu itu, Letnan Jenderal Urip
Sumoharjo sebagai Kepala Staf TKR. Markas Besar TKR terletak diyogyakarta.
Tahun
1946 TKR mengalami perubahan nama dari Tentara Keamanan Rakyat diubah menjadi TKR yang
bermakna Tentara Keselamatan
Rakyat. Kemudian tidak lama TKR diganti dengan Tentara Republik Indonesia (TRI), Kemudian, pada tahun 1947 TRI
diganti dengan Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
Nama
inilah yang dipakai sampai sekarang. TNI secara resmi menjadi satu-satunya
wadah angkatan bersenjata. Disamping perkembangan TNI, pada tanggal 29 September 1945 telah diresmikan berdirinya Kepolisian Negara.
Tanggal 5 Oktober 1945 merupakan permulaan tumbuhnya angkatan
bersenjata. Itulah sebabnya maka setiap tanggal
5 Oktober diperingati sebagai hari Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Sebagai
unsur kekuatan ABRI itu terdiri dari TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI
Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian.
Reformasi pada tahun 1998 telah
merubah sistem Hankam di Negara kita, Pada tanggal
1 April 1999 Polri resmi lepas dari ABRI, dan sebutan ABRI digantikannya
menjadi Tentara Nasional Indonesia ( TNI
).
GENERASI PENERUS PEJUANG NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
( GPP – NKRI )
“ GREEN EKONOMI “
HARI SUMPAH
PEMUDA
HARI KESAKTIAN PANCASILA
HARI TNI
17 – 18 OKTOBER 2015
TNI “ KETAHANAN
PANGAN “, POLISI “ SAHABAT ALAM “
Latar belakang ditetapkannya visi tersebut adalah bahwa proses pembangunan di segala bidang yang
memanfaatkan Lahan Daerah Aliran Sungai ( DAS ) , bahwa potensi sumber daya
alam dan sumber daya manusia harus dibarengi dengan upaya pengelolaan
lingkungan hidup yang memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan,
sehingga proses pembangunan terus berjalan dan terwujudnya lingkungan hidup Daerah Aliran Sungai (DAS) yang selaras, serasi
dan seimbang, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
MISI
Untuk mewujudkan Visi
tersebut di atas GENERASI PENERUS PEJUANG NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA ( GPP – NKRI ) menjalankan misi sebagai berikut :
1.
Meningkatkan dan menghasilkan pemikiran, kebijakan pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) yang berorientasi pada karakter ekosistem, peranserta masyarakat,
kearifan tradisi masyarakat, tempatan dan keadilan ekonomi serta perubahan
lingkungan global.
2.
Meningkatkan dan menghasilkan bioteknologi pengendalian pencemaran
lingkungan yang berbasis pada kelestarian keanekaragaman hayati.
3.
Melestarikan dan pemulihan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui
upaya konservasi dan rehabilitasi.
4.
Mengembangkan sistem informasi pengelolaan Sumber Daya Air dan Sumber Daya
Alam.
5.
Mempasilitasi pengembangan pendidikan dan pelatihan lingkungan.
6.
Menjadi pusat penelitian yang memiliki kredibilitas, profesionalitas
dan system manajemen yang handal.
RANAH
Melaksanakan kajian lingkungan yang mencakup penelitian kondisi fisik – kimia
– biologi, sosial ekonomi budaya dan berbagai ekosistem terestrial dan
ekosistem akuatik, serta interaksi dari komponen – komponen lingkungan
tersebut; telaahan kebijakan pengelolaan Sumber Daya Air dan Lahan Daerah aliran Sungai (DAS); pendidikan dan
pelatihan lingkungan hidup;serta konsultasi pada masyarakat.
FOKUS KAJIAN
Fokus kajian dikelompokan menjadi : pendidkan dan pelatihan, penelitian
dan pengembangan, pelayanan jasa dan konsultasi masyarakat yang terkait dengan
pengelolaan Sumber Daya Air Daerah
Aliran Sungai dan Lahan kritis
serta Lingkungan Hidup.
“ HUTAN RAKYAT WISATA BUDAYA –
CIBARANGBANG “
DESA BOJONGSARI KECAMATAN BOJONGSOANG
KABUPATEN BANDUNG
“ PUSAT PENDIDIKAN & PELATIHAN “
JAWA BARAT
ANALISA DAN STUDI PENANGANAN
MASALAH SUNGAI CITARUM
“ KEMBALIKAN SUNGAI CITARUM
PADA HABITATNYA “
KONSERVASI DAS TERPADU
BERKELANJUTAN
“ GREEN EKONOMI “
“ RIWAYAT SUNGAI CITARUM
DAN ASAL USULNYA “
Gunung Wayang
Gunung Malabar
Di Lereng Gunung Wayang salah satu
anak Gunung Malabar Daerah Bandung
Selatan Jawa Barat ada sebuah sungai besar dan panjang namanya adalah CITARUM, panjangnya 225 kilometer,
berhulu di Cisanti. Alurnya mengikuti cekungan Bandung ke arah utara, merayap
memasuki beberapa kebupaten yang ada di Jawa Barat seperti Kabupaten Bandung,
Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan karawang, bermuara di
Laut Jawa, tepatnya di arah ujung Karawang.
Situ Cisanti ( Hulu Sungai Citarum )
Citarum berasal dari dua kata secara
etimologis yaitu Ci dan Tarum “Marsedenia tinctoria” dalam bahasa Sunda “Ci”
merupakan singkatan dari cai berarti air. Tarum yang disebut juga Nila adalah
jenis tanaman areuy. Tanaman itu biasa
dijadikan bahan celup ( pewarna yang berwarna ungu/violet ), untuk warna dasar
kain.
Ada pendapat bahwa
nama citarum berkaitan dengan nama kerajaan tertua di Jawa Barat, yaitu
Tarumanegara. Menurut naskah Wangsakerta, pusat kerajaan itu terletak di daerah
tepi sungai yang kemudian disebut Citarum.
Beberapa kearifan tradisional masyarakat sekitar
bantaran Sungai Citarum dalam bentuk UGA yang mengkaitkan Sungai Citarum dalam prediksi dan antisipatif
dalam menghadapi fenomena alam :
1.
Engke lamun nu bisa ngabendung Citarum,
Bandung jadi kota kembang heurin ku tangtung.
2.
Mangke mun Citarum dicukangan ku layon,
mangke alam baris ancur.
3.
Mangke mun Cisangkuy numpakan Citarum Bandung
baris heurin ku tangtung.
4.
Mimiti ti Cikoneng, kaduana pangadegan,
katiluna Cibuni Soreang, ka opatna Citarum, kalimana Cilaki …..jaga mah cai
sagelas di jual sa 100 juta.
5.
Jaga Bandung bakal heurin ku tangtung, cirina
Citarum ruksak.
6.
Jaga Citarum tina herang jadi kiruh aya soang
ti girang, nu geulis geruh bakal kasorang alamna : nu bener disalahkeun nu
salah di benerkeun.
7.
Jaga Curug Jompong moal bisa nyurug, balak
aya tambakan gede atawa darmaga titungtung wates cililin nepikeun ka wates
Cianjur
.
Ketujuh UGA di atas lahir jauh
sebelum pembangunan yang sekarang terjadi, namun teropongan Karuhun Sunda sudah mampu melihat apa
yang akan terjadi pada masa yang akan datang ( kini dan nanti ). Untuk itu
generasi kini harus mampu memaknai UGA itu demi keselamatan dan kesejahteraan
hidup dengan menjaga alam sekeliling kita. Perkiraan Karuhun sudah cukup jelas
tersurat dalam UGA tersebut, kini mari maknai dan jadikan UGA tersebut pedoman
dalam menata kehidupan yang lebih baik.
Melihat fenomena yang terjadi, kini
Sungai Citarum sudah di bendung saguling dan cirata untuk dijadikan pembangkit
tenaga listrik. Jelas Bandung menjadi Kota “Kembang” dan heurin ku tangtung,
sesak penduduknya. Antisipasinya harus menjadikan Bandung sebagai kota yang
teratur, tata ruang yang sesuai dengan peruntukan, jangan semrawut seperti
sekarang ini. UGA ini sudah terjadi, namun antisipatif kearah pengembangan
Bandung menjadi kota yang tidak heurin ku tangtung.
Waduk Saguling
Waduk Cirata
Dulu Sungai Citarum memiiki berbagai fungsi
penting bagi kehidupan manusia, pada zaman prasejarah, daerah tepian Sungai
Citarum dihuni oleh manusia, terutama setelah mereka memilki budaya tinggal
menetap.
Pada beberapa abad yang lalu, Sungai Citarum sangat diperhatikan dan kondisinya
dipelihara, baik oleh pemerintah kabupaten maupun oleh warga masyarakat yang
daerahnya dilalui oleh Sungai itu. Pada abad
ke-17, Kompeni selaku aparat VOC
( Vereenigde Oost-Indische Compagnie ), gabungan perusahaan Belanda di Hindia
Timur, memfungsikan Sungai Citarum untuk kegiatan ekonomi dan pertahanan, Waktu
itu di Muara SungaI Citarum yaitu di Tanjungpura. Kompani membangun Pelabuhan
dan Benteng cukup Besar.
Pemeliharaan Sungai
Citarum pada abad ke-17 sampai abad ke-19, dilakukan oleh Bupati yang dalam
waktu tertentu selalu mengadakan rekreasi dengan acara menangkap ikan di suatu
leuwi tertentu dan berburu rusa di hutan tertentu. Perburuan dilakukan oleh
sejumlah Pamatang ( ahli berburu ). Mereka menggiring rusa ke dekat panggung.
Bila Bupati berkenan, ia membidik rusa dengan panah atau tombak. Hak istimewa
Bupati berburu di hutan, menyebabkan rakyat tidak berani merambah hutan. Bahkan
rakyat menyebut hutan tempat Bupati berburu sebagai “ Leuweung Larangan “ (
hutan tutupan/hutan lindung)
Acara menangkap ikan dan berburu
Dalam memelihara alur
sungai dari kelestarian serta menjaga air sungaI dari pencemaran, dilakukan
karena adanya kewajiban rakyat dalam pancen diensten ( kewajiban bekerja untuk
kepentingan penguasa pribumi, khususnya Bupati ) adalah memelihara sungai, baik
diperintah atau pun tidak oleh bupati.
Waktu itu sebagian
lahan hutan hanya dibuka untuk pemukiman sejumlah kecil penduduk dan lahan
pertanian ( huma ). Tidak terjadi perusakan hutan, apalagi penggundulan hutan.
Oleh karena itu, sebagian besar hutan menjadi lestari. Kelestarian hutan
menyebabkan alur Sungai Citarum tidak terganggu oleh longsoran hutan. Kedua hak
istimewa Bupati tersebut, sepintas terkesan menunjukan sikap feodal bupati.
Namun sesungguhnya kedua hak istimewa itu merupakan “ bungkus “ kearifan Bupati
untuk memelihara dan melestarikan Sungai dan Hutan, juga menghibur rakyat yang
sedang berada di dalam penjajahan.
Pada abad ke-19 pihak kolonial pun menjadikan
Sungai Citarum sebagian prasarana transportasi, dalam pengangkutan hasil
perkebunan yang khusus diangkut melalui Sungai Citarum adalah biji kopi. Buah
kopi dari daerah Priangan hasil dari Perangerstelsel ( system penanaman wajib
di Priangan ) diangkut melalui Sungai Citarum ke pelabuhan di pantai utara Jawa
Barat. Waktu kembali perahu-perahu itu mengangkut garam. Dalam kegiatan itu,
Cikao ( daerah Purwakarta ) menjadi pelabuhan sungai. Sementara itu,
orang-orang kolonial pengusaha perkebunan turut pula
menjaga kelestarian hutan, sebab bila hutan rusak, perkebunan meraka akan
terganggu.
Pengusaha
Perkebunan ( kolonial ) turut menjaga kelestarian Hutan
Kearifan-kearifan
tersebut membawa dampak positif bagi Sungai Citarum. Walaupun setian musim
hujan, Sungai Citarum selalu menimbulkan banjir, tetapi Banjir Sungai Citarum
tempo dulu tidak terberitakan mengakibatkan penderitaan berat bagi warga
masyarakat setempat, apalagi menelan korban jiwa manusia. Hal itu disebabkan
pemerintah dan warga masyarakat memperhatikan dan memelihara alur Sungai serta
Hutan di daerah aliran Sungai Citarum. Dampak negative dari banjir Sungai
Citarum tempo dulu yang terberitakan dalam berbagai sumber, adalah
berjangkitnya wabah penyakit, seperti penyakit kulit ( gatal-gatal ), diare,
dan malaria.
BANJIR TEMPO DULU
Banjir dari Sungai
Citarum yang terjadi setiap musim hujan, merupakan salah satu factor yang mendorong
Bupati Bandung R.A. Wiranatakusumah II ( 1794 – 1829 ) memindahkan Ibukota
Kabupaten dari Krapyak ke daerah Kabupaten Bandung bagian tengah ( Pusat kota
Bandung sekarang ). Peristiwa itu terjadi pada awal abad ke-19. Ibukota baru
itu diberi nama Bandung yang diresmikan tanggal 25 September 1810. Sejak tahun
1998 tanggal itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Bupati Bandung R.A.A Wiranatakusumah II
( 1794 – 1829 )
Fungsi Sungai Citarum
sebagai prasarana transportasi menjadi berkurang, setelah di daerah Jawa Barat
berlangsung transportasi kereta api. Pembangunan sarana transportasi itu
dilakukan secara bertahap antara tahun 1878 sampai dengan tahun 1911, dari
daerah Batavia sampai dengan Cilacap. Sekalipun sudah ada transportasi kereta
api, Sungai Citarum tetap berfungsi sebagai prasarana transportasi, paling
tidak sebagai tempat penyeberangan. Hal itu berlangsung sampai sekarang.
Transportasi Kereta Api
Kini, dalam perjalanan
sejarahnya, Sungai Citarum bukan hanya berfungsi sebagai pemasok air untuk
pertanian, tetapi air sungai itu berfungsi pula sebagai pembangkit listrik
tenaga air ( PLTA ),
setelah terlebih dahulu dibangun bendungan ( Waduk ) di beberapa tempat. PLTA
dimaksud adalah PLTA Pangalengan, PLTA
Lamajang, PLTA Cikalong di daerah Kabupaten Bandung, dibangun antara tahun 1917
– 1925, PLTA Jatiluhur ( 1965 ), PLTA Saguling ( 1985 1986 ),
dan PLTA Cirata ( 1988 ). Tiga PLTA yang disebut terakhir bukan hanya pemasok
tenaga listrik bagi daerah Jawa Barat, tetapi untuk seluruh Pulau Jawa dan
Bali.
Namun sangat
disayangkan, keberadaan beberapa PLTA itu terkesan tidak sejalan dengan
pemeliharaan kondisi air Sungai Citarum di luar bendungan-bendungan tersebut.
Sekarang air sungai itu tidak lagi dapat dimanfaatkan secara langsung untuk
kehidupan manusia, seperti tempo dulu, karena air sungai sudah sangat tercemar
oleh sampah dari rumah tangga dan limbah pabrik. Hal itu terjadi akibat dari
kearifan-kearifan tempo dulu mengenai pemeliharaan Sungai Citarum. Lupa dan Hilang, sehingga
kini kearifan itu perlu untuk direnungkan kembali dalam membuat kebijakan untuk
menangani masalah sungai Citarum Zaman Sekarang.
Fungsi Lain dari
Sungai Citarum tempo dulu, yaitu :
Ø Batas wilayah
dua Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Daerah sebelah Barat Sungai Citarum
tetap menjadi wilayah Kerajaan Sunda, sedangkan daerah sebelah timur sungai itu
menjadi wilayah Kerajaan Galuh. Hal itu paling tidak berlangsung sampai dengan
abad ke-15.
Ø Sarana
Transportasi masyarakat Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh, yang menghubungkan
daerah pesisir dengan daerah pedalaman.
Ø Batas wilayah
Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten ( abad ke-15 hingga abad ke-19 ).
Daerah sebelah Barat Sungai Citarum merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan
Banten. Daerah sebelah timur sungai itu
menjadi wilayah kesultanan Cirebon.
Ø Setelah
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur berdiri, masing-masing pada sekitar
pertengahan dan perempat ketiga abad ke-17, Sungai Citarum penting artinya bagi
kehidupan masyarakat kedua kabupaten tersebut. Pemerintah Kabupaten Bandung
bahkan memilih Krapyak ( Citeureup ) di tepian Sungai Citarum ( dekat muara
Sungai Citarik ) sebagai Ibukota Kabupaten.
Ø Pada zaman
pendudukan Kolonial Belanda, Sungai Citarum menjadi alat transportasi untuk
memasuki daerah “Kota Bandung” karena sarana jalan darat transportasi melalui
darat masih sulit dilakukan, Karena belum adanya jalan yang memadai dan
sebagian besar lahan darat masih berupa hutan belantara (“terra incognita”).
Namun selama beberapa puluh tahun kondisinya masih berupa jalan tanah. Keadaan
itu paling tidak berlangsung sampai dengan tahun 1870-an. Dan jalan Raya Pos (
Grote Postweg ) dari Anyer sampai Panarukan yang dibangun pada awal abad ke-19
untuk jalan kereta Pos.
Krapyak
dipilih sebagai pusat pemerintahan kabupaten dengan dua alasan.
1.
Waktu itu sebagian besar penduduk
Bandung tinggal di daerah Bandung Selatan. Sasuai dengan Budaya lama, boleh
jadi waktu itu di daerah aliran Sungai Citarum berderet pemukiman penduduk,
karena sungai itu merupakan bagian penting dari kehidupan penduduk, baik untuk
kehidupan sehari-hari maupun untuk kepentingan pertanian.
2.
Sungai Citarum penting artinya sebagai
prasarana transportasi, baik bagi para pejabat kabupaten maupun bagi penduduk.
Tempat-tempat tertentu di sepanjang sungai Citarum itu, seperti di Dayeuhkolot,
Margahayu, Bayabang, Cihea, dan lain-lain, dijadikan tempat pemberhentian
perahu dan/atau penyebarangan. Di tempat-tempat penyeberangan disediakan perahu
bandungan ( eretan ) dua perahu dipasang sejajar dan digandengkan atau rakit untuk menyeberangkan orang dan
barang.
Perubahan kondisi Sungai Citarum menyebabkan
terjadinya perubahan sosial, khususnya pola kehidupan sosial dan ekonomi warga
masyarakat di Daerah Aliran Sungai Citarum. Oleh karena itu, sudah selayaknya
apabila masalah Sungai Citarum diteliti secara komprehensif dari berbagai
disiplin keilmuan.
PASTI ALAM
ORGANIS, BIOLOGIS, RUH UNTUK BUDAYA
“ GUSTI
MANUNGGALING KAULA, KAULA MANUNGGALING GUSTI “
GENERASI PENERUS
PEJUANG NEGARA KESATUA REPUBLIK INDONESIA
(GPP- NKRI )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar